pivot62.com

pivot62.com – Setelah terjadi unjuk rasa berdarah yang mengakibatkan kematian sedikitnya 19 orang, pemerintah Kenya membatalkan rencana kenaikan pajak yang sebelumnya telah disetujui oleh parlemen. Demonstrasi yang berujung tragis tersebut terjadi di luar gedung parlemen, di mana polisi menggunakan peluru tajam untuk menghadapi massa pada Selasa (25/6).

Menurut laporan dari lembaga pengawas hak asasi manusia, kekerasan ini terjadi di Nairobi dan menyebabkan kematian 19 orang. Respons terhadap krisis ini datang cepat dari Presiden Kenya, William Rutto, yang mengumumkan pembatalan kebijakan pajak yang kontroversial tersebut.

Dalam sebuah konferensi pers yang diadakan pada hari Rabu (26/6), seperti dilaporkan oleh AFP, Presiden Rutto mengatakan, “Saya mengalah. Oleh karena itu, saya tidak akan menandatangani RUU Keuangan 2024, dan RUU tersebut akan ditarik. Masyarakat sudah menyuarakan pendapatnya.”

Presiden juga menyampaikan keinginannya untuk melibatkan lebih banyak kaum muda dalam proses pembuatan kebijakan, sebagai upaya untuk mendengarkan dan memahami aspirasi mereka. Namun, pernyataan ini tidak menghapus kritik yang ditujukan kepada Rutto, terutama mengenai komentar-komentarnya yang sebelumnya menyamakan para demonstran dengan penjahat.

Hanifa Adan, salah satu pengunjuk rasa, mengecam pernyataan terbaru Rutto sebagai tindakan hubungan masyarakat semata. “Dia membuat pidato itu untuk mencoba mengintimidasi kami,” kata Adan. “Kemudian dia sadar bahwa itu tidak memengaruhi kami, jadi sekarang ini hanya menjadi manuver PR. RUU sudah ditarik, tapi apakah itu bisa menghidupkan kembali orang-orang yang telah tewas?”

Sebagai tanggapan terhadap kejadian tersebut, para pengunjuk rasa merencanakan demonstrasi lain pada hari Kamis (27/6), dengan mengenakan pakaian putih sebagai simbol duka untuk mereka yang telah gugur. “Kamu tidak bisa membunuh kami semua,” ujar Adan, menegaskan keteguhan para pengunjuk rasa.

Di media sosial, para pengunjuk rasa menggunakan tagar #Rejectfinancebill2024 dan menyebarkan ajakan “Tupatane Thursday,” yang berarti “Kita bertemu Kamis” dalam bahasa Swahili, sebagai bentuk solidaritas dan lanjutan dari protes.

Demonstrasi ini awalnya dipicu oleh pengesahan RUU kenaikan pajak oleh parlemen, yang dipandang akan memperberat beban hidup rakyat Kenya yang sudah tinggi. Kegagalan polisi dalam membubarkan massa dengan cara yang lebih damai, seperti menggunakan gas air mata dan meriam air, hanya menambah intensitas kekerasan.

Daniel Mwangi, salah satu pengunjuk rasa, mengungkapkan frustrasinya, “Kami sibuk kerja setiap hari, tapi tak satu pun yang mampu kami beli karena biaya hidup sudah amat mahal belakangan ini. Kami tidak memiliki pekerjaan lagi sehingga kami berada di sini (demo) setiap hari. Jika kami tidak bisa mencari penghidupan lagi, setidaknya kami mati untuk suatu tujuan.”